Pengembangan perpustakaan terjadi karena adanya regulasi yang mengaturnya. Sejak era otonomi daerah (otda) diterapkan, pengembangan perpustakaan mengacu pada sejumlah aturan hukum yang memayungi, seperti Undang-undang Perpustakaan Nomor 43/2007, Undang-undang KCKR Nomor 4/1990, Undang-undang Nomor 23/2014, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 dan 41 tentang pembagian urusan pemerintahan.
Selama setahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Perpustakaan Nasional giat melakukan pemetaan tipologi kelembagaan perpustakaan daerah. Pemetaan dilakukan demi penyempurnaan kelembagaan perpustakaan agar lebih efisien. Di masa mendatang, kelembagaan perpustakaan sesuai amanah undang-undang Nomor 23 tahun 2014, diubah dari semula berbentuk badan/kantor menjadi dinas.
Alasan itu dimaksudkan karena perpustakaan telah menjadi urusan wajib pemerintah baik di pusat maupun daerah. Jika kelembagaan kelembagaan masih berbentuk badan, maka hanya akan menjadi urusan penunjang, bukan urusan wajib. Kekeliruan ini yang ingin diluruskan pemerintah.
Untuk menjadi kelembagaan dinas, maka Kemendagri bersama Perpusnas membuat indikator penilaian yang dijadikan acuan tipologi perpustakaan tersebut masuk ke dalam kelembagaan dinas tipe A, B, atau C.
Kelembagaan (dinas) perpustakaan tipe A memiliki perangkat kepala dinas, sekretariat, empat kepala bidang, dan kelompok jabatan fungsional. Untuk kelembagaan tipe B memiliki perangkat kepala dinas, sekretariat, tiga kepala bidang, dan kelompok jabatan fungsional. Sedangkan, kelembagaan tipe C memiliki perangkat kepala dinas, subag tata usaha, dua kepala bidang, dan kelompok jabatan fungsional.
Indikator penilaian berbeda antara provinsi dengan kab/kota. Provinsi memiliki lima indikator, yakni jumlah kunjungan pemustaka, jumlah koleksi yang dimiliki, jumlah perpustakaan yang dibina, promosi gemar membaca yang dilakukan, dan koleksi karya cetak dan karya rekam (KCKR). Sedangkan, indikator untuk kab/kota hanya mencakup empat, tidak termasuk KCKR.
Saat ini, kelembagaan perpustakaan (badan/kantor) telah ada di 34 provinsi, sedangkan untuk kab/kota, kelembagaan perpustakaan sudah ada di 464 dari 514 kab/kota. Dari jumlah tersebut, rata-rata kelembagaan perpustakaan di daerah masuk ke dalam tipe C. “Masih di bawah standar yang dipatok Perpusnas, yakni tipe B,” jelas Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Minat Baca Muh. Syarif Bando saat menggelar Rapat Koordinasi (rakor) Perpustakaan Umum bersama provinsi dan perwakilan Kab/Kota di Jakarta, (22/2).
Kelembagaan tipe C yang disematkan saat ini pada mayoritas kelembagaan perpustakaan di daerah bukan suatu hasil yang dibanggakan. Apalagi jika mengingat peran perpustakaan yang amat besar dalam membangun karakter bangsa. Mustahil bisa membangun karakter bangsa tanpa melibatkan perpustakaan di dalamnya, tambah Kapus P3MB.
Predikat tipe C memantik kekhawatiran daerah mengingat kendala dan tantangan yang dihadapi lembaga perpustakaan tidak bisa disamaratakan karena ada sejumlah permasalahan diluar dari indikator-indikator yang mesti dipertimbangkan juga bagi pemerintah pusat.
Oleh sebab itu, Kepala Perpusnas Sri Sularsih meminta seluruh jajaran lembaga perpustakaan untuk kerja keras agar mampu mendongkrak status lembaga dari C dari B.
Sekedar informasi, data perkembangan perpustakaan di Indonesia mencatat, Indonesia memiliki sebanyak 1.495.238 perpustakaan yang berdiri, namun baru 149.132 ribu (9,97 %) yang telah mendapat bantuan pengembangan perpustakaan dalam bentuk sarana prasarana maupun koleksi
Sementara itu, persoalan gemar membaca masih menjadi PR serius bagi seluruh lembaga perpustakaan. Ini adalah tantangan besar yang mesti dihadapi bersama. Di tahun 2015, Perpusnas telah melaksanakan sampel untuk meneliti sejauh mana tingkat kegemaran membaca masyarakat di 12 provinsi dan 38 kab/kota.
Variabel yang dipakai antara lain jumlah waktu yang digunakan untuk membaca, halaman yang dibaca, frekuensi membaca per minggu, income (pembelian) buku selama setahun, ketersediaan bahan baca, pengaruh media eletronik (audio visual).
Hasilnya, cukup miris. Ternyata rendahnya minat baca masyarakat sebanyak 47% dipengaruhi karena pekerjaan sehingga sulit mencari waktu membaca, 31% karena tidak ada bahan bacaan, dan sisanya karena pengaruh tayangan audio visual. “Tidak bisa tidak, pola pikir (mind set) harus diubah. Aktivitas membaca harus menjadi landasan fundamental bagi terwujudnya Indonesia Cerdas melalui kegemaran membaca,” pesan Kepala Perpusnas.
Sumber: Hartoyo Darmawan